MAKALAH
IJTIHAD, TAQLID, ITTIBA’, TALFIQ, FATWA DAN
QODHO’
Makalah ini ditulis
dalam rangka memenuhi tugas Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Drs. Zawawi, M.A
Disusun oleh:
Nafila Hana
Rahmatina (2022113104)
Istiaroh (2022113105)
Ika Cahyaning Rahayu (2022113110)
Istiaroh (2022113105)
Ika Cahyaning Rahayu (2022113110)
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
STAIN PEKALONGAN
2014
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
STAIN PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Kata Pengantar
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali
suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa
dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui
perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad.
Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental,
ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil
ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum
yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel,
cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula,
syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang
semakin kompleks.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ijtihad
2.
Jelaskan pengertian mujtahid dan
syarat-syaratnya
3.
Sebutkan tingkatan mujtahidin
4.
Apa pengertian taqlid dan hukum
taqlid
5.
Jelaskan ittiba’ dan macam-macamnya
6.
Apa pengertian talfiq
7.
Apa pengertian fatwa dan qada’
III.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian ijtihad
2. Mengetahui
pengertian mujtahid dan syarat-syaratnya
3. Mengetahui
tingkatan mujtahidin
4. Mengetahui
pengertian taqlid dan hukum taqlid
5. Mengetahui
ittiba’ dan macam-macamnya
6. Mengetahui
pengertian talfiq
7. Mengetahui
pengertian fatwa dan qada’
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada,
yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan
(jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya
atau berusaha yang bersungguh-sungguh.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath
hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam
al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang
mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan
menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
2.
Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan
syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.
Imam
al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut
Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua
sifat :
- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut
Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu :
- Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
- Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan.
- Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.
- Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu.
- Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).
- Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub.
- Alim dalam ilmu ushul fiqh.
- Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini.
3. Tingkatan Mujtahidin
1.
Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan
pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki,
Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2.
Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk
berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti
jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.
4.
Macam-Macam Ijtihad
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594),
membagi ijtihad kepada tiga macam :
- Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
- Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
- Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
Sedangkan menurut ustadz Hakim membagi ijtihad menjadi dua,
yaitu `aqli dan syar`i. Ijtihad `aqli ialah apabila
hujjahnya hanya akal saja dan tidak menerima untuk dijadikan sebagai syar`i
yaitu hal-hal yang semata-mata `aqli aturan-aturan yang biasanya untuk
menolak kemudlaratan dan lain-lain. Sedangkan yang syar`i ialah yang
memerlukan kehujjahan yaitu sebagian dari hujjah-hujjah syar`i di dalam
kelompok ini termasuk ijma`, qiyas, istihsan, ishtishlah, `urf, istishab
dan lain-lain.
B. TAQLID
1. Pengertian
Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada, yuqallida,
taqliidan, artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh
mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau
tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid
ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat
serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau
salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu. Menurut pendapat Al Ghazali dan ibn subki mengatakan bahwa taqlid adalah :
الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ مُلْزِمَةٍ
كَاَخْذِالْعَامِى بِقَوْلِ الْمِى وَأَخْذُ الْمُجْتَهِدِ بِقَوْلِ الْمُجْتَهِدِ
مِثْلِهِ
“ mengamalkan pendapat tanpa ada hujjah yang memastikan kita
menerimanya, seperti orang awam menerima pendapat awam dan seperti seorang
mujtahid menerima pendapat seorang mujtahid’’.
2. Hukum Taqlid
1)
Taqlid
yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid
ini ada tiga macam :
a.
Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang
atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b.
Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui
kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
c.
Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2)
Taqlid
yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa
orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang
berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan
harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi
sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid
lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta’akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam,
membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a.
Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu
pendapat dari keempat madzhab.
b.
Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan
bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan
awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar
pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
3)
Taqlid yang
diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan
sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
3.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid
yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah,
Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin
al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu
tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang
sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid
yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam
kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu
Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
4. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan
orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang
walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap
perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu
sebelum diamalkan.
c.
Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau
akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya
itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d.
Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh
orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya.
Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki
lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
C. ITTIBA`
1.
Pengertian
Kata “ittiba`” berasal dari
bahasa Arab ittaba`a, yattabi`u, ittibaa`an, muttabi`un yang
berarti “menurut” atau “mengikut”.
Menurut pendapat Al Amidi ittiba’ ialah mengambil
suatu hukum dengan dalilnya, walaupun sesuai dengan pendapat seorang mujtahid,
dan bukan taqlid karena dia sebenarnya mengambil dari dalil bukan dari
mujtahid.
الْإِتِّبَاعُ : اِتِّبَاعُ مَا ثَبَتَ عَلَيْهِ حُجَّةٌ .
Ittiba’ ialah :” mengikuti sesuatu yang ad hujjahnya”.
الْمُتَّبِعُ كُلُّ مَنْ آَوْجَبَ عَلَيْهِ الدَّلِيْلُ اِتِّبَاعَ
قَوْلِ غَيْرِهِ
Muttabi’ ialah : “
Orang yang diwajibkan oleh dalil mengikuti perkataan orang lain”
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau
menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah
SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai
dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat
seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat
itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba`
adalah lawan taqlid.
2.
Macam-Macam Ittiba`
a.
Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua
perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
b.
Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak
membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya
dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang
lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama
yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris
para Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum
muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam
dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu
ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan
dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah
atau amal yang dikerjakan.
D. TALFIQ
1.
Pengertian
Talfiq
berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut
istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Talfiq ialah :
التَّلْفِيْقُ : أَخْذُ جَمِيْعِ الْأَحْكَمِ الْمُتَعَلِّقَةِ
بِوَسَائِلْ الْمَسْئَلَةِ وَمُقَدَّمَاتِهَا مِنْ مَذَا هِبَ وَأَرَاءٍ
مُخْتَلِفَةٍ .
“ Mengambil beberapa hukum yang berpautan dengan wailah-wasilah
dan muqadimah-muqodimah sesuatu masalah dari berbagai madzhab dan
bermacam-macam pendapat”.
Contoh nikah tanpa
wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab
Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah
tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama
tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang
paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang
lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang
ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan
sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para
ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
2.
Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh
memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih.
Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan
menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang
ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud
mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
D. Pengertian Fatwa
Al-fatwa secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah
Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau
faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminita fatwa dalam
suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminita fatwa tesebut
bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi
fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa
disebut al-mustafti (Ensiklopedi Hukum Islam).
Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan
ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga
batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah
dicurahkan. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama
ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik
dibandingkan dengan ijtihad.
Seorang mustafti bisa saja
mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan
yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini
halal atau haram, tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah
fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu
1) Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
2) Apakah dalilnya
3) Apa wajh dalalah-nya.
4) Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
2) Apakah dalilnya
3) Apa wajh dalalah-nya.
4) Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
Berdasarkan hal itu, sebagian
ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid).
Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli
ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli
fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan
seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.
Seorang mufti juga harus
memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang
dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat
lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya
sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Demikianlah kedudukan fatwa dalam jurisprudensi Islam. Walhasil,
setiap fatwa yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah yang
qath’i adalah fatwa yang batil, tidak sah dan termasuk kebohongan atas nama
Allah terhadap umat.
Di Indonesia, lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI ini di Indonesia membawahi semua kegiatan keagamaan, khususnya agama Islam.
Di Indonesia, lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI ini di Indonesia membawahi semua kegiatan keagamaan, khususnya agama Islam.
E. Pengertian Qadha
Makna al-Qadha’ secara bahasa, Al-Qadha’ (القضاء) berasal dari kata قضى-يقضى-قضاء;
jamaknya أقضية. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak
makna. AI-Quran mencantumkan kata al-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya
menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan
sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan,
mengakhiri, dsb.
Makna al-Qadha’ secara syar’i, sekalipun secara bahasa kata
al-Qadha’ memiliki banyak makna, secara tradisi ia akhirnya lebih difokuskan
pada makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariat pun
memutlakkan istilah al-Qadha’ dalam masalah praktik dan putusan peradilan.
Para ulama memberikan beberapa definisi al-Qadha’ dalam pengertian
syar’i ini. Menurut al-¬Khathib asy-Syarbini, al-Qadha’ adalah penyelesaian
perselisihan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah SWT. Dalam Fath
al-Qadir, al-Qadha’ diartikan sebagai al-Ilzam (pengharusan); dalam Bahr
al-Muhith diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan
persengketaan; sedangkan dalam Bada’i ash-Shana’i diartikan sebagai penetapan hukum
di antara manusia dengan haq (benar).
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam
al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau
menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan. Rasul SAW secara
langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah
masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam
beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan uqubat umumnya; juga
dalam masalah hisbah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang
mencampur gandum basah dengan gandum kering; dalam masalah mazhalim mengenai
penetapan harga; dalam perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar
dalam masalah pengairan, dan sebagainya.
Ketika kekuasaan negara Islam semakin luas, Rasulullah SAW
mengangkat beberapa sahabat sebagai qadhi (hakim) yang beliau tempatkan di
beberapa daerah, seperti Mu’adz bin Jabal di daerah Janad dan Ali bin Abi
Thalib di daerah Yaman. Qadhi pada masa Rasul SAW, antara lain: Umar bin
al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa al-Asy’ari, dan Mu’adz bin Jabal.
Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai
hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah,
kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai Sulthah Qadhaiyyah.
Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara
perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang
durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan
persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan
kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin
terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan
kedudukan hukum kepala negara.
Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan.
Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakannya.
Karena tanpa lembaga (al-Qadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat
diterapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar